Senin, 04 April 2011

Perbedaan Perhitungan PBB berdasarkan UU PBB dan UU PDRD


Sekilas bisa kita lihat perbedaan SPPT berdasarkan UU PBB dan UU PDRD, untuk PBB yang masih dikelola DJP menggunakan dasar UU PBB dan ketika dikelola oleh Pemda maka harus menggunakan dasar UU PDRD.

Contoh Hitung PBB berdasarkan UU PBB

 
Contoh Hitung PBB berdasarkan UU PDRD

 Dari Contoh perhitungan diatas dapat dilihat perbedaan dan konsekwensi yang harus dilakukan karena  perbedaan tersebut.
1.    Pada perhitungan NJOP bumi terlihat bahwa berdasarkan UU PBB yang tentunya sudah didukung dengan peraturan dibawahnya (Permenkeu dll), terhadap NJOP per m2 dibuat klasifikasi. Hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem perhitungan karena faktanya memang nilai tanah sangat bervariasi.  Sedangkan pada UU PDRD belum Nampak adanya klasifikasi tersebut yang artinya Pemda diberi kesempatan untuk memilih apakah menggunakan Klasifikasi yang sudah digunakan oleh UU PBB atau menggunakan Klasifikasi lain atau bahkan tidak menggunakan klasifikasi. Perlu diperhatikan tujuan klasifikasi adalah untuk menyederhanakan sistem yang pastinya harus mengelola data yang sangat banyak karena jumlah objek dan subjek PBB pada umumnya berjumlah ratusan ribu.

2.    Untuk perhitungan NJOP Bangunan nampak sekali perbedaannya, yaitu berdasarkan UU PBB hanya ditampilkan Luas Bangunan serta kelasnya sehingga didapatkan NJOP Bangunan, dalam perhitungan ini nilai taman dan pagar sudah dikonversi ke dalam nilai bangunan per m2. Sedangkan berdasarkan UU PDRD perhitungan NJOP bangunan jelas-jelas dipisah antara peruntukan bangunan dan garasi, taman serta pagar. Hal ini memberikan  konsekwensi
a)   Perlu diputuskan segera tentang digunakannya klasifikasi atau tidak.
b)   Jika keputusannya menggunakan klasifikasi maka masih mungkin menggunakan peraturan lama untuk klasifikasi bangunan dan garasi namun untuk pagar dan tanaman perlu penyesuaian yang berarti karena harus membuat sistem perhitungan tersendiri terhadap nilai taman dan pagar.
c)    Terhadap Bumi* dan Bangunan* yang artinya bumi dan atau bangunan yang digunakan secara bersama juga tetap perlu diperhatikan.

3.    Pada perhitungan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) sekilas memiliki perbedaan, namun pada poin ini sebenarnya tidak terdapat perbedaan karena di sistem perhitungan berdasarkan UU PBB sudah dibuat logika bahwa objek PBB yang tidak terdapat bangunan secara otomatis tidak diberikan NJOPTKP dengan alasan NJOPTKP sudah diberikan di Objek lainnya yang dikuasai oleh Wajib Pajak. Sedangkan pada perhitungan PBB berdasarkan UU PDRD dibuat lebih jelas bahwa NJOPTKP hanya dikenakan pada objek PBB yang terdapat bangunan hanya saja perlu diperhatikan bahwa NJOPTKP hanya dapat diberikan kepada salah satu objek yang dikuasai oleh Wajib Pajak.

4.    Pada Perhitungan berikutnya akan kita ditemui istilah NJKP. Pada perhitungan berdasarkan UU PBB, ditetapkan sebesar 20% untuk objek Pajak yang memiliki Total NJOP kurang dari 1 Miliar dan 40% untuk Objek Pajak yang memiliki Total NJOP 1 miliar ke atas. Dari hasil perhitungan itu dikalikan tarif yang berlaku berdasarkan UU PBB yaitu sebesar 5% sehingga diperoleh Nilai PBB yang harus dibayar. Adapun berdasarkan UU PDRD, istilah NJKP sudah tidak digunakan lagi sehingga perhitungan menjadi lebih sederhana yaitu Nilai Jual Objek Pajak Pajak Kena Pajak langsung dikalikan tarif (maksimal 0.3%) sehingga diperoleh Nilai PBB yang harus dibayar.    

Selasa, 29 Maret 2011

Evaluasi Pelimpahan BPHTB ke Pemda

Tahun 2010 sudah berlalu, tahun 2011 sudah berjalan 3 bulan namun masih kita dengar ketidaksiapan Pemerintah Daerah dalam mempersiapkan semua perangkat dan aturan pengelolaan BPHTB yang mau atau tidak sejak tanggal 1 januari 2011 sudah harus dikelola.
Menurut detiksport.com  tanggal 28 Desember 2010 menyebutkan hanya 160 daerah yang siap memungut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari 492 daerah (kabupaten/kota) di Indonesia. Akibatnya ada potensi 33% penerimaan BPHTB akan hilang. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan mulai 1 Januari 2011 mendatang, pemerintah pusat mengalihkan hak pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ke pemerintah daerah. Namun, hingga 23 Desember 2010 ini, baru 160 daerah yang siap memungut BPHTB karena telah menyusun Peraturan Daerahnya (http://www.detiksport.com/read/2010/12/28/182443/1534525/4/pemda-tak-siap-33-potensi-penerimaan-bphtb-hilang)
Pada perkembangannya oleh jpnn.com disebutkan bahwa sebanyak 368 pemda sudah menyelesaikan paraturan daerah (perda) tentang pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sementara, 87 pemda masih dalam proses penyusunan. Hanya 37 daerah yang belum memproses perdanya. (http://www.jpnn.com/read/2011/03/26/87848/99-Persen-Daerah-Siap--Pungut-BPHTB-). Kondisi diatas tentu perlu kita cari tahu permasalahannya sehingga kita akan bisa lebih bijak dalam menilai setiap permasalahan. 
Lebih penting dari itu semua, ada tantangan baru yang harus dihadapi oleh Pemda yaitu pelimpahan PBB yang menurut UU PDRD harus dikelola oleh Pemda Paling lambat 1 januari 2014 artinya Pemda boleh mengambil alih pengelolaan PBB sebelum itu namun siap atau tidak tanggal 1 Januari 2014 PBB sudah harus dikelola oleh Pemda.

"Ada Kemauan Ada Jalan" Salah karena mencoba jauh lebih baik daripada tidak salah karena tidak mencoba.